(Preambule)
Tulisan ini adalah pengantar
untuk menerangkan hakikat dan metode menulis puisi. Akan saya sajikan secara
serial, dan semoga berguna.
Bila anda bertanya, apa yang
dimaksud puisi kepada 1000 orang, bisa jadi anda akan mendapatkan 1000
jawaban yang berbeda-beda. Puisi bersifat relatif, meskipun saya yakin, di
dalamnya terkandung nilai universal yang mengglobal. Semisal menayakan
definisi cantik, jawabannya cantik itu relatif. Tapi ada parapemeter
universal yang disepakati secara konvensi untuk mengatakan
"cantik", misalnya dengan diajukan pertanyaan, apakah menurut anda
maria ozawa (miyabi) itu cantik, kiranya akan didapat jawaban yang umum.
Persoalannya, bahwa menulis
puisi memang sama sulitnya dengan mendefinisikan puisi itu sendiri, juga sama
sulitnya dengan menilai sebuah puisi apakah termasuk bagus atau biasa-biasa
saja. Disebut sulit, dalam artian, menulis puisi untuk semua kalangan dan
merangkai definisinya yang bisa diterima oleh semua kalangan, memang tidak
mudah. Juga, belum tentu puisi yang baik menurut satu kalangan, akan dinilai
bagus menurut kalangan yang lain. Dengan kata lain, terdapat nilai
subjektivitas dalam perpuisian, sehingga mereka yang bergelut dengan
perpuisian mendapatkan permakluman melalui litentia poetica (kebebasan berekspresi). Dengan
adanya litentia poetica ini, bisa diasumsikan bahwa nilai
sebuah puisi bersifat relatif, yang akan bergantung kepada siapa yang menilai
dan dari sudut mana ia menilainya.
Dengan kata lain pula, tidak
ada kebenaran mutlak dalam puisi, semuanya bersifat prismatis atau ambivalen.
Keyakinan seperti ini pula yang digenggam oleh seorang Syakieb Ahmad Sungkar,
kolektor seni rupa yang bekerja secara profesional di bidang oprator selular.
Dulu Syakieb bekerja di Indosat, kini pindah ke Axis. Syakieb bukan seorang
teoretikus puisi, tetapi pendapatnya mengenai puisi, misalnya saat menilai
puisi Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto atau puisi-puisi Afrizal Malna
dan Sutardji Calzoum Bachri, memperlihatkan bahwa ia termasuk pemerhati
perpuisian.
Tidak
ada kebeneran mutlak juga tidak ada kebenaran tunggal dalam perpuisian.
Karena itulah, aktivis seni-budaya macam Taufik Rahzen, selalu berusaha
mencari kebenaran alternatif yang bisa diyakini dan diteorikan. Dengan kata lain, dalam menilai puisi,
Taufik berusaha mencari penilaian lain untuk melihat karya seni. Ia tidak
akan menerima begitu saja legitimasi yang dikeluarkan oleh sebuah institusi
maupun perorangan. Misalnya sebuah kalangan, menyatakan habis-habisan puisi
Taufik Ismail itu luar biasa hebatnya, tetapi kalangan lain ada yang menilai,
puisi Taufik terlalu banal, dan puisi yang banal menjadi kurang indah. Taufik Rahzen tidak akan begitu saja
menerima pendapat yang diajukan dua kalangan itu.
Tetapi
meskipun tidak ada kebenaran mutkak atau tunggal dalam kesenian (baca:
puisi), bukan berarti tidak terkandung nilai yang lebih universal, yang lebih
bisa diterima oleh halayak yang lebih ramai. Manusia, secara alamiah telah
diberi bekal untuk saling menyamakan persepsi, sehingga terbentuk kesepakatan
untuk menyatakan sesuatu itu bagus atau buruk. Kesepakatan atau konvensi
itulah yang kemudian dirakit menjadi teori.
Ada
banyak ilmuan yang telah menciptakan teori dalam menulis puisi, yang dinukil
dari konvensi. Dan sejatinya, setiap orang bisa membuat teori sendiri, sebab
seperti kata Umberto Echo, teori terbaik ialah yang diracik sendiri dari
pengalaman di lapangan.
Baiklah,
seperti halnya juga manusia, karya puisi terdiri atas jiwa dan raga, atau ruh
dan tubuh. TS Elliot dan IA Ricahrd, sastrawan Amerika, memberi istilah
“hakikat” untuk jiwa atau ruh puisi, dan “metode” untuk raga atau tubuh
puisi. Di Nusantara, istilah “hakikat” dan “metode” sudah lama diberi istilah
dengan “isi” dan “bentuk”, dan belakangan, seiring maraknya wetsernisasi ilmu
pengetahuan, mulai banyak yang menggunakan istilah “teks” dan “konteks” untuk
menengarai isi dan bentuk kesenian, termasuk seni puisi.
Lalu seperti apa hakikat dan
metode atau isi dan bentuk puisi itu?
Pada “hakikat” sebuah puisi,
terdapat empat unsur penting, yakni: Tema, amanat, imajinasi, dan suasana.
1. Tema adalah elan vital (persoalan
utama) yang dibicirakan dalam puisi.
2. Amanat adalah pesan yang hendak
disampaikan dalam puisi.
3. Imajinasi adalah citra atau gambaran
yang dibangun dalam puisi.
4. Suasana adalah emosi sang penyair
saat menuliskan karyanya, dan emosi tersebut dapat dirasakan oleh pembaca.
Muara dari suasana ialah penghayatan. Puisi yang dangkal penghayatan, akan
sulit dibacakan dengan penuh penghayatan.
Sedangkan
mengenai “metode” atau bentuk puisi, terdapat beberapa unsur sintaksis
(tatabahasa) dan diksi yang cenderung digunakan untuk membangun sebuah puisi.
Unsur-unsur itu antara lain.
1. Diksi atau pilihan kata.
2. Rima atau bunyi.
3. Enjabemen atau ketukan.
4. Gaya bahasa.
Demikianlah
unsur-unsur yang membangun Hakikat dan Metode puisi. Kami akan uraikan satu
per satu unsur-unsur di atas pada tulisan lainnya. Bagi yang hendak serius
mempelajari puisi, ada baiknya unsur-unsur di atas dapat dihapal. (bersambung)
|
Rabu, 20 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar