Jumat, 18 November 2011

Jumat, November 18, 2011

Menjadikan Tuhan Sebagai Sahabat dalam Berkarya

Sebuah karya sastra tidak lahir begitu saja. Ia tidak muncul dari ruang yang kosong. Karya sastra yang kuat biasanya lahir dari penulis yang pula kuat visi atau pandangan kepengarangannya. Dalam esai singkat ini kita mencoba menyimak visi ketuhanan khususnya keislaman dalam karang-mengarang. Dalam esai ini kita antara lain akan membaca dengan singkat beberapa karya dan pemikiran sastrawan Islam. Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto adalah contoh sebagian sastrawan yang menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya. 

Judul karangan ini mengacu pada kalimat Hamdy Salad dalam buku Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik (2000). Sementara pembahasan karya sastrawan yang disebut di muka sebagian besar merujuk pada paparan-paparan Abdul Hadi WM dalam buku esainya Kembali Ke Akar Kembali Ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999) dan Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (2000). 

Dalam buku Agama Seni Hamdy meyakini bahwa seni dapat menjelma sebagai pengembara abadi dalam ruang metafisis, menjadi wakil budaya untuk mendampingi dan menuntun jiwa manusia menuju keindahan Ilahiah. Pada puncak penyatuan, pemahaman, dan pemaknaan terhadap keseluruhan ekspresinya, kegiatan berkesenian akan melahirkan paham estetik yang mampu diadaptasi sebagai wacana untuk mengalihkan konflik teologis dan kultural dalam proses-proses penciptaan karya seni yang berakibat pada kerusakan moral dan kemurtadan spiritual.

Estetika sebagaimana kita mafhum dapat dikatakan sebagai syarat mewujudnya karya seni. Tetapi gerangan estetika seperti apakah (yang bisa kita pilih)? Menurut Al-Ghazali, yang dikutip Hamdy, estetika adalah kesaksian terhadap kehidupan moral yang bersumber pada keyakinan dan iman (akidah dan tauhid, pengetahuan terhadap Allah). Sehingga lebih lanjut estetika termaksud tidak mungkin dapat muncul dalam karya seni yang dicipta oleh seniman yang tidak memiliki penghayatan terhadap kehidupan moral, keyakinan, dan iman. Demikian juga halnya untuk memahami atau mendekati fakta-fakta universalitas estetika seni dalam peradaban Islam yang bersifat spiritual, transenden, dan abstrak.

Pada tataran itu, menurut Hamdy Salad, estetika seni Islam dapat diterima secara utuh yang ditandai dengan metafora-metafora simbolik antara tatanan Ilahi dan tatanan kosmis di satu pihak serta tatanan kultural dan estetis pada sisi yang lain. Oleh karena itu, eksistensi seni Islam tidak memiliki ketergantungan individual maupun sosial pada jenis-jenis bentuk seni maupun pemahaman manusia terhadapnya yang selalu berkembang dan berubah-ubah. Estetika Islam tidak mengandungi karakter-karakter yang bersifat realistik dan profan, sehingga reaksi-reaksi psikologis yang dipancarkan dari padanya sama sekali tidak menimbulkan permusuhan, kekerasan, kriminalitas, maupun penyakit-penyakit sosial. Seni Islam juga tidak mungkin dapat mempengaruhi orang-orang munafik menjadi kafir, orang frustasi menjadi bunuh diri dan lain sebagainya, tetapi sangat mungkin untuk mendorong, menggugah, atau meningkatkan orang bertakwa menjadi saleh, orang kafir menjadi beriman, atau menarik pikiran dan tindakan negatif ke arah gagasan dan perilaku yang lebih positif. 

***
Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto bisa disebut sastrawan yang menyerap semangat sufistik dalam karya-karya mereka. Menurut Abdul Hadi WM, sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transendental. 

Dalam makalah “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental” yang disampaikan pada Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kuntowijoyo menulis, “Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial, dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada yang semata-mata konkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian lahirian—jadi sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari aktualitas, dan kedua, membebaskan diri dari peralatan indra kita.”

Pandangan Kuntowijoyo dalam makalah tersebut, menurut Abdul Hadi WM, berkorelasi dengan pandangan cendekiawan Muslim Sayyed Hosein Nasr. Menurut Nars, manusia modern telah kehilangan visi ketuhanan, yaitu aspek atau dimensi transendental daripada kehidupannya. Karena kehilangan visi ketuhanan itulah manusia modern sangat mudah dihinggapi perasaan kosong atau hampa dalam hidupnya. 

Menyimak Kuntowijoyo kita mendapatkan bahwa untuk sebuah sastra transendental yang terpenting ialah makna, bukan semata-mata bentuk. Oleh karenanya ia lebih bersifat abstrak, bukan konkret; spiritual, bukan empiris; dan yang di dalam, bukan yang di permukaan. Dalam esai “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Transendental” Kuntowijoyo menyatakan pembebasan pertama yang harus dilakukan oleh pengarang, berhubungan dengan sastra, adalah menyangkut bahan penulisan. Para pengarang selama ini, menurut dia, selalu terikat dan tergantung pada aktualitas. Keterikatan dan ketergantungan semacam ini harus dilepaskan agar seorang pengarang bisa mendapatkan sebuah gagasan murni tentang dunia dan manusia. Dengan cara demikian angan-angan dan pikiran kita sanggup mencipta sebuah “dunia tersendiri”  yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, dan peristiwa keseharian. Pembebasan kedua bertalian dengan pendekatan sastra. Pembebasan semacam ini mendorong kita tidak hanya menjadi juru bicara gejala (fenomena) tangkapan indra, akan tetapi yang lebih penting ialah pengungkapan gejala yang berada di balik gejala tangkapan indra. Ini berarti kita menjadi wakil dari sebuah dunia yang penuh makna. Cara kita mendekati objek-objek sastra ialah seperti kita menangkap hakikat segala sesuatu. 

Demikianlah bagi Kuntowijoyo sastra tak lebih dari simbol. Menurut dia manusia mentransformasikan lingkungan dan kehidupannya ke dalam simbol. Simbol ialah dunia baru. Salah satu bentuk ikhtiar mentransformasikan lingkungan dan kehidupan ialah sastra. Karena sastra merupakan simbol, maka dunia yang disajikan bukanlah realitas sebagaimana yang hanya dapat dicerap pikiran dan indra, melainkan suatu dunia yang telah dibentuk oleh gagasan dan pemikiran penulisnya. Segala sesuatu yang dipaparkan seorang pengarang dalam karyanya tidak selalu dapat dirujuk kepada peristiwa dan kejadian tertentu dalam sejarah, tetapi suatu hasil penafsiran pengarang berdasar pemahaman dan gagasan tertentu. Menurut Kuntowijoyo, sastra ialah konsepsi tentang sesuatu; kadang-kadang sastra ialah sublimasi, proyeksi, atau katharsis atas suatu kejadian. 


Dalam perjalanan kepengarangan dan kecendekiaannya Kuntowijoyo (lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943) mengemukakan juga konsepsi sastra profetik. Beberapa pekan sebelum meninggal dunia pada 22 Februari 2005, Kuntowijoyo menulis esai “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”  yang kemudian dimuat majalah Horison Edisi Mei 2005. Dalam esai tersebut dia menuangkan kaidah-kaidah sastra profetik dan etika profetik yang antara lain diilhami pemikiran Muhammad Iqbal dalam bukunya Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Etika Profetik itu sendiri dia temukan dalam Al-Quran, 3: 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah.” Menurutnya, setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnas) ayat itu berisi tiga hal, yaitu ‘amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi), nahi munkar (mencegah kemunkaran, liberasi), dan tu’minuna billah (beriman pada Tuhan, transendensi). 

Lanjut Kuntowijoyo, Etika Profetik yang berisi tiga hal (humanisasi, liberasi, dan transendensi) menjadi pelayan bagi seluruh umat manusia, rahmatan lil ‘alamin. Liberalisme akan memilih humanisasi, Marxisme memilih liberasi, dan kebanyakan agama cenderung pada transendensi. Etika Profetik menginginkan ketiga-tiganya. (Tidak hanya dalam sastra Kuntowijoyo menyarankan Etika Profetik, tapi lebih luas dalam ilmu sosial humaniora. Ini tertuang terutama dalam bukunya yang terbit 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi.)

Dari sekian banyak karya cerpen Kuntowijoyo, menurut Abdul Hadi WM, terdapat tiga yang benar-benar sufistik dan menerapkan gagasan “sastra sebagai simbol”—dan lebih lanjut Etika Sastra Profetik. Tiga cerpen itu—diterbitkan dalam kumpulan Dilarang Mencintai Bunga-bunga (1992)—berjudul “Sepotong Kayu untuk Tuhan”, “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”, dan “Burung Kecil Bersarang di Pohon”. Pokok permasalahan yang dikemukakan Kuntowijoyo dalam cerpen-cerpennya itu jarang dikemukakan oleh pengarang lain. Sekalipun bisa dipandang sebagai “cerpen ide” cerpen-cerpen itu sangat hidup dan menarik, sublim dengan dialog-dialog yang dalam serta pelukisan yang rinci dan puitik. Kuntowijoyo pun begitu halus menyelipkan pesan moral dan kerohanian dalam karya-karyanya, begitu pula kritiknya yang tajam terhadap kehidupan yang terkungkung materialisme. 


Melebihi cerpen-cerpennya, perwujudan estetik gagasan Kuntowijoyo mengenai sastra transendental dan sastra profetik paling ketara dalam novel Khotbah di atas Bukit. Novel ini menceritakan Barman, seorang pensiunan diplomat, meluangkan waktu tuanya di sebuah bukit bersama Poppy, perempuan cantik, yang diatur oleh Bobi dan Dosi, putra dan menantu Barman. Tapi alih-alih mendapatkan semacam kebahagiaan sejati di sebuah tempat yang jauh dari hibuknya kota, Barman tua pelan-pelanyang agaknya sudah terpendam lama, yakni tentang kebahagiaan hidup itu sendiri, the will to meaning.

Melalui novel ini sastra benar-benar disajikan sebagai simbol, tamsil, atau konsepsi mengenai rentetan peristiwa tertentu. Di antara penggunaan simbol penting dalam novel ini ialah perjalanan tokoh utama ke gunung atau tempat tinggi di mana ia berpeluang melakukan penyucian dan pertemuan dengan gambaran dirinya yang hakiki. Penyucian dalam novel ini dipaparkan secara simbolik melalui perjalanan tokoh ke sungai yang jernih airnya. Perjumpaan tokoh dengan diri hakiki dilukiskan melalui perjumpaannya dengan tokoh yang menyerupai dirinya, tapi dengan watak berbeda. Pemakaian simbol semacam itu untuk menggambarkan perjalanan spiritual atau mistikal terdapat banyak dalam karya-karya mistikal Jawa dan para sufi Melayu dan Persia. Di sini secara simbolik manusia digambarkan melakukan kenaikan spiritual dari tempatnya yang rendah menuju kedudukannya yang sebenarnya. Adapun pengalaman unio-mystica atau fana (penyatuan diri dengan Yang Transenden) dilukiskan oleh Kuntowijoyo melalui penerbangan tokoh dengan kuda putihnya di atas jurang di mana ia menemui kematiannya. Dalam novel Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo memakai banyak unsur kesusastraan Jawa untuk mendukung narasinya yang bertujuan menyampaikan pesan moral dan spiritual secara estetik dan hermeneutik. 


Khotbah di Atas Bukit dapat disebut sebuah upaya pengarangnya menjelajah tema yang beragam tentang transedensi. Lebih kurang kita dapat menyebutnya sebagai novel bertema transendensi nonteistik. Bila transendensi teistik adalah kesadaran ketuhanan yang menyangkut institusi agama, maka transendensi nonteistik adalah kesadaran terhadap makna apa saja yang melampaui batas kemanusiaan. Berkaitan dengan hal ini, dari Khotbah di Atas Bukit kita melihat keuniversalan konsep sastra transendental/profetik. Mengutip Abdul Hadi WM, Islam sebagai sistem kepercayaan dan peribadatan tidak mesti dipahami hanya sebagai doktrin ketuhanan dan teologi, melainkan juga sebagai sistem yang mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Di jantung ajaran Islam terkandung sistem ontologi, eskatologi, kosmologi, epistemologi, etika, estetika, psikologi, antropologi, dan lain-lain. Ini membuat Islam dapat dan mampu meresapi serta melandasi hampir setiap aspek kehidupan penganutnya, termasuk kesenian dan kesusastraan. 

***
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
(“Walau”, Sutardji Calzoum Bachri)

Sutardji Calzoum Bachri (lahir di Renggat, Riau, 24 Juni 1941) dalam khazanah kesusastraan Indonesia barangkali lebih terkenal dengan kredo puisinya yang kontroversial dan menghebohkan pada tahun 1970-an. Menurutnya, “Kata (dalam puisi) harus dibebaskan dari beban pengertian.” Tapi dalam perjalanan kepenyairannya ia terus melakukan pengembaraan dan pencarian spiritual. Tidak heran terdapat juga nada sufistik atau mistikal dalam sajak-sajaknya yang awal (terhimpun dalam buku O dan Amuk) yang cenderung nihilistik. Menurut Abdul Hadi WM, gejala itu semacam kerinduan penyair akan sastra transendental. 

Dalam kumpulan puisinya ketiga, Kapak, kecenderungan sufistik semakin jelas. Kapak secara umum merupakan kumpulan puisi berisi renungan akan maut dan kefanaan manusia. Renungan yang mendalam akan maut dan kefanaan inilah yang membawa Sutardji pada kesadaran transendental baru, yaitu kesadaran sufistik.

Dalam sajak-sajaknya terdahulu penyair ini lebih cenderung menyuarakan kegelisahan seorang pencari yang selalu menemui jalan buntu atau kesia-siaan; keberangan seorang pemberontak terhadap setiap bentuk kemapanan, termasuk kemapanan dalam nilai-nilai. Dalam sajak di atas penyair ini mulai menemukan ketenangan dalam kehidupan spiritual atau spiritualitas. Ketenangan batin sebagai pijakan baru bagi seorang penempuh ilmu suluk merupakan suatu babakan penting sebelum tercapainya pencerahan batin. 

Sebagai penyair tampak Sutardji bertarung habis-habisan melawan problem paling esensial yang menyebabkan penderitaan manusia modern, yaitu keterasingan manusia dari Tuhan dan dirinya yang hakiki, yaitu diri sebagai makhluk spiritual. Rasa asing ini diperparah oleh kungkungan ego yang ingin menguasai seluruh gerak diri dengan kebebasan sepenuhnya, sedangkan kebebasan tersebut diperoleh dengan menjadikan ego sebagai Tuhan. Namun demikian, kebebasan tersebut ternyata tidak membuat manusia bebas dari penderitaan. Problem manusia modern tersebut dikemukakan dalam sajak “Walau”: “dulu pernah kuminta tuhan/dalam diri/sekarang tak”.

Melalui sajak “Walau” Sutardji jelas ingin membebaskan diri dari semacam tragedi kekosongan makna hidup semacam itu. Menurut Abdul Hadi WM, pada saat yang sama Sutardji ingin memasuki kesadaran al-Hallaj (yang dikenal luas slogannya “Ana al-Haq”). Di sinilah titik yang memisahkan fase nihilistik kepenyairan Sutardji dan yang menghubungkannya dengan kecenderungan sufistik. Sesudah melahirkan sajak-sajak yang terkumpul dalam antologi Kapak, Sutardji pada permulaan tahun 1980-an beristirahat menulis sajak untuk beberapa waktu lamanya dan mendalami tasawuf. Pada masa inilah dia mulai mengaitkan sastra transendental dengan pencarian nilai-nilai sufistik dalam kehidupan kepenyairannya. Dia pun menerima gagasan Kuntowijoyo dengan sangat antusias.

Puisi sejati, menurut Sutardji, harus dibebaskan dari keterikatan yang berlebihan terhadap aktualitas dan gejala kehidupan yang bersifat permukaan. Kita harus mencari kebenaran hakiki di sebaliknya dengan melakukan pencerahan ruhani. Ini bukan berarti kita harus acuh tak acuh terhadap peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan sekitarnya. Tapi keterlibatan kita ialah keterlibatan yang lebih dalam.

Menurutnya, peranan penyair bukanlah sekedar penyaksi kejadian di alam zawahir. Penyair yang sejati mempunyai peranan utama sebagai penyaksi kebenaran hakiki. Kebenaran hakiki merupakan pusat kehidupan, logos atau logosentris, yang tidak dapat dienyahkan dari sebuah maqamat (discourses) yang disebut puisi. Menurut Sutardji, puisi ialah ungkapan sebuah perjalanan spiritual menuju lubuk rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran (al-Haqq) itu sendiri. Jika seorang penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami pencerahan. Dan oleh sebab itu ia akan mengalami kebangunan diri kembali atau transformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya.

Dalam esai pendeknya “Sastra Transendental”  (harian Pelita, 21 Oktober 1987), Sutardji mengatakan bahwa puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan ialah puisi transendental. Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan sastra transendental Sutardji memberi contoh ucapan Rumi dalam mukadimah Matsnawi: “Aku tidak menyanyikan Matsnawi supaya orang membawanya dan mengulang-ulangnya, tapi agar orang meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Matsnawi adalah tangga pendakian menuju kebenaran. Jangan engkau pikul tangga itu di pundakmu sambil berjalan dari satu kota ke kota lain.”

Perjalanan transendental yang dianjurkan Rumi ialah perjalanan dari diri (yang rendah) ke diri (yang luhur), dari lower self ke higher self. Jadi ia merupakan perjalanan mendaki atau vertikal, bukan perjalanan horisontal, dan bukan perjalanan astronot yang meninggi menuju bulan, tetapi perjalanan hati menuju puncak terdalam batin sendiri. Sutardji, dengan mengikut Rumi, mengatakan bahwa semangat ketuhanan yang ada dalam diri manusia harus diupayakan lahir kembali dan inilah antara lain fungsi sastra sufistik.

Puisi sufistik sebagai sastra transendental, menurut Sutardji, merupakan perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya. Tanpa dimensi spiritual manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaannya. Dia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi dengan segala aktivitas bernilai relatif yang dijalankannya dari hari ke hari sekadar menunggu atau menunda saat kematiannya. 

***
Danarto (lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940) meyakini bahwa sastra merupakan alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. Salah satu karya sastranya adalah cerpen “Lempengan-lempengan Cahaya” yang disiarkan pertama kali di Horison, Juni 1988, lalu dimuat dalam buku kumpulan cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Menurut Abdul Hadi WM, “Lempengan-lempengan Cahaya” berhasil memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental yang diidamkan setiap penulis sufistik. 

“Lempengan-lempengan Cahaya” memilih tempat di Palestina ketika pasukan Israel bentrok dengan orang-orang Palestina yang melancarkan intifadah. Cerpen ini dibuka dengan percakapan antara Surah al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surah Ali Imran ayat 18-19 sebelum ketiganya diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan kemudian tersebar ke seluruh dunia. Kias-kias Danarto sangat indah dalam cerpen ini. 

Danarto membangun suasana permulaan ceritanya sebagaimana lqbal memulai hal yang sama di dalam Javid Namah atau seperti Fariduddin Attar memulai Musyawarah Burung. Suasananya mistis dan memerlihatkan bahwa pengarangnya piawai melukiskan kesadaran kosmik. Setelah diterima oleh Nabi Muhammad, ayat-ayat itu kemudian dikenal luas oleh umat Islam. Ayat-ayat itu meluncur terus sebagai lempengan-lempengan cahaya yang tak terhitung jumlahnya. Di antaranya ribuan meluncur pula di wilayah Palestina yang diduduki tentara Israel. Ayat-ayat itu disimpan dalam kalbu putra-putra Palestina dan menjadi bagian dari darah dagingnya. Karena menyimpan ayat-ayat itulah orang-orang Palestina dikejar dan dibantai secara keji oleh tentara Israel. Termasuk gadis kecil Fatimah. Danarto ingin melukiskan bahwa keyakinan yang mendalam orang-orang Palestina terhadap ajaran Al-Quran merupakan suatu ancaman bagi kaum Zionis Israel.

Dalam esainya “Proses, Proses, Proses, Proses” (terangkum dalam buku Duapuluh Sastrawan Bicara) Danarto mengatakan, “Daerah penciptaan itu netral. Seperti ruang kosong di mana kita bisa mengisinya sebebas-bebasnya. Dengan apa saja. Ruang kosong itu murni.” Katanya lagi, “Dan segala-galanya ternyata suatu proses. Jagat kecil, tubuh kita berproses terus, menembus ruang dan waktu. Mentransformasikan dirinya menjadi apa saja. Itulah sebabnya bila kita bercermin makin lama makin tampak betapa tidak adanya identitas itu. Segalanya kehilangan makna. Segala makin abstrak. Segalanya tak lebih dari onggokan daging. Lenyap. Tak ada. Hanya Allah sajalah yang ada. Mahasuci Allah dari segala bentuk.”

Dalam sebuah wawancara Abdul Hadi WM terhadap Danarto (“Angkatan 70 Lahir dari Sumber Itu Sendiri”,  Berita Buana, 14 Agustus 1984), Danarto berkata bahwa sastra merupakan ikhtiar pencerahan. Kata-kata hanya sarana bagi penglihatan batinnya. Dengan kata-kata dia harus mampu menjadikan yang abstrak berdaging dan “yang tersirat” menyebabkan pencerahan. Ini bisa dicapai dengan kekuatan kesadaran “bumi yang berenang di langit” yang merupakan kebalikan dari “bumi yang menggumuli kebumiannya”.

Menurut Danarto pula, terpengaruh Timur sama jeleknya dengan terpengaruh Barat. Seorang penyair atau pengarang yang benar menulis bukan karena adanya pantun, syair, haiku, seloka, dandanggula, soneta, rubayat, atau sajak bebas dalam sastra modern. Juga bukan karena adanya novel realis, roman, lakon absurd dan lain-lain sebagainya. Seorang pengarang menulis karena memperoleh inspirasi atau ilham, sehingga karya yang lahir bukan cuma berdasar perbandingan dengan karya yang telah ada, melainkan sebagai hasil menjenguk langit atau memeroleh limpahan pencerah batin. Dengan begitu sebuah karya menjadi orisinal.

Menurut Danarto, sebelum mencipta seorang pengarang harus berhubungan langsung dengan Tuhan, suatu hal yang mudah sekali dilakukan dalam peradaban Islam. Terutama melalui shalat, zikir, wirid, tartil, tafakur, uzlat, dan lain-lain. Bagi seorang pengarang kreatif apa yang dijumpainya dalam kebudayaan Timur dan Barat tidak lebih hanya merupakan bahan perbandingan belaka. Dalam kerja penciptaan nyatanya segala yang kita serap dari luar akan lebur dan terkubur oleh keringat kita dan dapat menjelma sesuatu yang baru sama sekali.
***

Sebuah karya sastra tidak lahir begitu saja. Ia tidak muncul dari ruang yang kosong. Karya sastra yang kuat biasanya lahir dari penulis yang pula kuat visi atau pandangan kepengarangannya. Menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya sebenarnya dapat disebut merupakan akibat logis dari wawasan estetika (sastra) Islam. Lebih lanjut bisa dikatakan dalam wawasan tersebut identitas kekaryaan tidak bisa dipisahkan dari integritas kemanusiaan seseorang—termasuk dari integritas kehambaan seseorang di hadapan-Nya. Sebagaimana menurut Abdul Hadi WM, esensi penciptaan karya sastra adalah pencarian dan realisasi diri. Dan sebagai representasi simbolik dari dunia kerohanian, seni (sastra) semestinya mampu menjadi semacam tangga naik menuju pengalaman religius dan transendental. Mengutip Danarto, sastra merupakan alat untuk menerima dan memberikan pencerahan. 

Tapi juga karena karya sastra tidak lahir begitu saja, ia memerlukan proses. Dalam esainya “Jelmaan Ruang-Waktu”  (terhimpun dalam bunga rampai Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang) Danarto menulis dengan bersahaja: “Ketika proses duduk di atas segala-galanya, maka ia menjadi dasar pandangan penulisan ... Kalau ada tokoh di dalam cerpen saya kelihatan paling benar, maka adalah kebenaran dalam proses ... Apakah ada kebenaran selain kebenaran dalam proses? Lalu saya pun merangkai-rangkai kalimat yang mengalir. Deras. Biarlah kalimat-kalimat itu sukar dipegang, sebagaimana proses.” Begitulah, menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya bisa jadi dijalani tidak gampang, tetapi bukan berarti tidak mungkin. 

Tuhan,
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan,
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
(“Tuhan, Kita Begitu Dekat”, Abdul Hadi WM)
Bandung, 10 Mei 2011


Wildan Nugraha, bergiat di FLP Jabar sebagai Ketua



Dikutip dari : forumlingkarpena.net
Ditulis tanggal : 13 - 10 - 2011 | 20:02:43


0 Comments:

Posting Komentar